Oleh: arifrizka | Agustus 28, 2007

WALI DALAM PERKAWINAN

Oleh Arif Rizka Nurhidayat

      nash tentang wali dalam perkawinan

    Nash tentang wali dalam pernikahan banyak disebut dalam Al-Qur’an dan beberapa Hadits Nabi. Nash Al-Qur’an diataranya, Al-Baqarah: 230, 231, 232, 235, 240; Ali Imran: 159, An-Nisa’: 25,34, Al-Talaq: 2. Akan tetapi pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an tersebut berbeda-beda dari para fuqaha, yang akan kita bahas lebih lanjut.


    Pandangan fuqaha


    Imam Maliki

        Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda.

        Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secra tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar.


        Imam Hanafi

          Abu Hanifah membolehkan perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda. Hanya saja kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkannya.

          Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut abu hanifah diantaranya Al-Baqarah: 230,232,240. serta mengartikan “al-aima” adalah”wanita yang tidak mempunyai suami” baik gadis maupun janda. Ditambah dengan hadits tentang kasus al-khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi..

          Menurut abu hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas.


          Imam Syafi’i

            Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah Al-Baqarah:232, An-Nisa: 25,34. serta beberapa hadits nabi.

            Menurut Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.


            Imam Hambali

              Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus.

              Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.


              konsep perundang-undangan

                Sedangkan menurut konsep perundang-undangan di beberapa Negara, dapat kita buat beberapa tipologi:

                1. Wali tidak lagi menjadi syarat atau rukun akad nikah, yakni di Tunisia
                2. Perlu izin wali tetapi tidak menjadi rukun atau syarat, seperti di Ciprus
                3. Membedakan antara gadis dengan janda, seperti di yordania, dan gadis dewasa dengan gadis belum dewasa, untuk syiria dan Somalia, dimana untuk janda atau dewasa tidak perlu persetujuan wali
                4. Meskipun wali harus ada namun begitu longgar untuk diganti wali hakim kalau sudah dewasa, seperti di Lebanon dan Druze Lebanon
                5. Wali menjadi rukun nikah, yakni di Brunei, Philipina, Maroko, Aljazair, Libya, Sudan, Yaman, Malaysia, dan Indonesia.
                6. Harus ada persetujuan mempelai, yaitu Brunei, Philipina, Druze Lebanon, Maroko, Aljazair, Libya, Ciprus, Sudan, Malaysia, dan Indonesia.
                7. Masih mengakui hak ijbar wali, yakni Maroko
                8. Dihukum orang yang memaksa akad nikah, seperti Irak dan Malaysia.

                Analisis

                Dari kajian para fuqaha, dapat disimpulkan bahwa hanya hanafiyah yang membolehkan wanita dewasa menikahkan diri sendiri, sedangkan tiga madzhab besar lainnya yakni maliki, syafi’I, dan Hambali melarangnya. Dan hanya hanafiyah yang mengharuskan adanya persetujuan mempelai secara mutlak, sedangkan lainnya mengakui adanya hak ijbar wali dengan variasi pandangan masing-masing.

                Jika kita cermati, penetapan hak ijbar didasarkan pada nash implicit (mafhum Mukhalafah) dari hadits “janda lebih berhak pada dirinya daripada wali”, sehingga paham kebalikannya adalah terhadap gadis maka wali yang lebih berhak. Padahal ada teks yang menunjukkan secara tegas tentang perlunya persetujuan dari mempelai, yakni pada kelanjutan hadits tersebut, “al-bikru yusta’dzanu”.

                Dalam buku Hukum perkawinan 1, karya Prof. Dr. Khoirudin Nasution, MA. Disebutkan bahwa musyawarah adalah jalan terbaik. Sehingga wali yang mempunyai pengalaman di butuhkan untuk memberikan saran-saran dan pemikiran berdasarkan pengalamannya, sementara wanita yang akan menjalani kehidupan rumah tangga diberikan kebebasan berdasarkan pada saran-saran dan pertimbangan wali.

                Alangkah lebih baik dalam pembahasan tentang wali ini jika diulas hikmah-hikmah yang dikandung serta akibat akibat yang terjadi jika wali memiliki hak ijbar atas mempelai dan jika gadis dewasa diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan wali. Serta membenturkannya dengan kondisi daerah yang bersangkutan saat ini.

                Seandainya gadis dewasa diberikan hak secara mutlak untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan wali, bisa dimungkinkan terjadinya perkawinan yang hanya sebagai permainan belaka. Atau jika wali diberikan hak ijbar, maka bisa jadi ia menggunakan anaknya untuk mendapatkan kekayaan dengan menikahkannya dengan orang yang kaya.


                Tanggapan

                1. bagaimana cara melakukan pernikahan dengan janda sedangkan mau ijin orang tuanya masih takut … sedangkan kami ingin tidak ada perzinaan dan mau melanjutkan pernikahan secara syiri

                2. Karena artikel di blog ini gak tegas dan gak konkrit, serta meninmbulkan keraguan bagi pembacanya, izinkan saya mengutip penjelasan dari Ustd. farid Nu’man. Agar tidak ada lagi penjelasan yang membingungkan. Wanita menikah tanpa wali adalah tidak sah. Dalilnya adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

                  لا نكاح إلا بولي

                  Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali. (HR. At Tirmidzi No. 1101, Ahmad No. 19518, Ibnu Majah No. 1880, 1881, Al Bazzar No. 3106, 3108, 3109, 3111, Abu Ya’la No. 2507, 4692, 4749, 4906, 4907, 7227, Ath Thabarani dalam Al Ausath No. 681, 5563, Ad Daruquthni, 3/218, 220, Ad Darimi No. 2182, dll. Dari jalan Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Musa Al Asy’ari)

                  Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim. (Al Mustadrak No. 2711), Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Tahqiq Musnad Ahmad No. 19518), Syaikh Husein Salim Sa’ad (Tahqiq Sunan Ad Darimi No. 2182), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 7555).

                  Makna laa nikaha (tidak ada nikah) maksudnya adalah tidak sah nikahnya. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

                  والنفي في الحديث يتجه إلى الصحة التي هي أقرب المجازين إلى الذات.فيكون الزواج بغير ولي باطلا

                  Pengingkaran yang ada pada hadits ini mengarah pada ke-sah-an pernikahan, yang merupakan arti paling dekat pada inti permasalahan ini. Maka, pernikahan yang terjadi tanpa wali adalah batal. (Fiqhus Sunnah, 2/126)

                  Lebih tegas lagi, dalam hadits lain:

                  أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

                  Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal. (diulang 3 kali). (HR. At Tirmidzi No. 1102, katanya: hasan. Abu Daud No. 2083, Ibnu Majah No. 1879, dengan lafaz: “wanita mana saja yang tidak dinikahkan oleh walinya …,” Ahmad No. 24205, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 13376, 13377, Ad Daruquthni, 3/221)

                  Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim. (Al Mustadrak No. 2706, katanya: sesuai syarat Syaikhan (Bukhari-Muslim)), Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 24205, katanya: dishahihkan oleh Ibnu Ma’in, Abu ‘Uwanah, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Al Baihaqi, dan Al Hakim)

                  Inilah pendapat mayoritas ulama dari zaman ke zaman, dari kalangan sahabat seperti Umar bin Al Khathab, Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan selainnya. Dari kalangan tabi’in, seperti Said bin Al Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Syuraih, Ibrahim An Nakha’i, Umar bin Abdul ‘Aziz, dan lainnya. Lalu ini juga pendapat Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Abdullah bin Al Mubarak, Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan lainya. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 1102)

                  Ada pun Imam Abu Hanifah dan muridnya, Imam Abu Yusuf, telah berselisih dengan mayoritas mereka. Bagi mereka pernikahan tanpa wali adalah boleh, keberadaan wali hanya anjuran saja.

                  Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyebutkan:

                  ويرى أبو حنيفة وأبو يوسف: أن المرأة العاقلة البالغة لها الحق في مباشرة العقد لنفسها.

                  بكرا كانت أو ثيبا. ويستحب لها أن تكل عقد زواجها لوليها. صونا لها عن التبذل إذا هي تولت العقد بمحضر من الرجال الاجانب عنها.

                  Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa wanita yang sudah berakal dan baligh, dia punya hak untuk menikahkan dirinya sendiri, baik dia masih gadis atau janda. Namun, dianjurkan baginya untuk mengkuasakan akad nikahnya kepada walinya, untuk menjaga penilaian yang kurang wajar dari pria asing, jika dia menikahkan dirinya sendiri. (Fiqhus Sunnah, 2/128)

                  Namun, pendapat ini adalah pendapat yang lemah, sebab jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil yang ada. Lalu, pendapat ini bisa berdampak buruk, yaitu dimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab, dengan seenaknya wanita berkata kepada laki-laki: “Saya nikahkan diri saya sendiri dengan Anda, saudara Fulan bin Fulan ….”, sehingga sangat tipis perbedaannya dengan orang yang berzina. Sehingga kalaupun ini dianggap khilafiyah, ini adalah khilafiyah yang tidak mu’tabar (tidak dianggap), karena pertentangannya yang sangat jelas dengan nash yang shahih dan sharih.
                  Wallahu A’lam

                3. Assalamualaikum wr.wb

                  Dri smua pendpat para ulama diatas. Jika saya mau meyakini pndpat tntg diperbolehkannya nikah sirih tnpa khdiran wali apakah boleh? Soalnya saya pengen nikah sm pacar saya untuk mnghindari zinah. Tlong jawab ke email saya saja pak. Trima kasih

                4. Aslmkm mas sy mau tnya,sya seorang janda anak 2.. Dan sy mau menikah dengan seorang lelaki bujang.. Yg mau sy tanyakan apakah sy harus tetap memberikan hak wali sya kepada ayah saya.. Dlm kasus ini ayah sy tdk menyetujui pernikahan sy.. Apa kah sy masih sah menikah tanpa persetujuan ayah saya walaupun sy seorang janda.. Sbelumnya sya ucapkan terima kasih

                5. alam
                  mas, saya berniat menikah siri dengan pacar saya tanpa sepengetahuan ortu, karna kami tidak mau melakukan maksiat..
                  bagaimana walai dalam hal ini? apa boleh di wakilakan oleh pak ustaz yang kami mintai untuk diwakilkan? mohon jawabannya di email saya ya mas.. syukron jazakallah…

                6. gi mana kalau mau kawin sama seorang janda apa perlu wali atau cukup wali hakim

                7. nice posting..keep moving..

                8. salam
                  mas, saya berniat menikah siri dengan pacar saya tanpa sepengetahuan ortu, karna kami tidak mau melakukan maksiat..
                  bagaimana walai dalam hal ini? apa boleh di wakilakan oleh pak ustaz yang kami mintai untuk diwakilkan? mohon jawabannya di email saya ya mas.. syukron jazakallah…

                9. salam..
                  mas, saya ada pertnyaan,, saya berniat mau nikah siri dengan pacar saya tanpa sepangetahuan ortu, karna saya gak mau bnyak melakukan maksiat..
                  bagaimana wali dalam hal in? apa boleh di wakilkan oleh pak ustaz yang kami mintai untuk mjd wali unt kami??
                  mohon jawabannya di email sy ya mas.. sukron jazakallah…

                10. gimana tanggapa anda jika wali dalam pernikahan bukan seAgama? tetapi itu wali nasab

                11. Assalamualaikum,
                  afwan akhi….ana boleh tanya gak, judul kitab fiqih karangan abu hanifah tentang nikah tanpa wali itu apa? kitab itu sulit sekali ana temukan di toko-toko buku, atau perpustakaan. padahal ana memerlukannya…syukron

                  • saya mensarikan dari buku hukum perkawinan tulisan Prof. Khoirudin Nasution. Bukunya dipinjem temen ga kembali. Coba aja ditelusuri dari bukunya prof. Khorudin Nasution itu.

                12. Kan pernikahan nya udah terlaksana, gimana tuh mas hukum nya, apakah pernikahan adik ku tidak sah

                13. ini masih sebatas seingatku mas…, ntar coba tak carikan lg referensinya. maaf, soalnya sekarang2 ini lg sibuk.
                  kalo misalnya ayah masih hidup, maka sebagai walinya tetap harus ayah. kalo misalnya kakak mau jd wali maka ayah harus mewakilkan kepada sang kakak, dengan akad tawkil (akad mewakilkan).

                14. Mas…. aku ada pertanyaan, tolong di jawab ya….

                  Gini, Bulan kemaren aku jadi wali di pernikahan adik kandung ku ( perempuan ), tapi…… aku masih memiliki ayah kandung ( status : sudah bercerai )

                  Hukum nya gimana tuh Mas… TOlong ya….

                15. Thanx a lot

                16. makalah yang ada boleh dimanfaatkan seperlunya. Hanya saja, kami mohon tetap memperhatikan etika ilmiah. terima kasih

                17. terima kasih telah mempermudhkan pekerjaanku sahabat…………………………..


                Tinggalkan Balasan ke rezaldi Batalkan balasan

                Kategori